Undangan Press Conference (room zoom) dan pembacaan rilis, Solidaritas Kedang Ipil
“Sudah sewajarnya jika perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai hak-hak tradisional mereka yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk Undang-Undang segera dapat diwujudkan, agar dengan demikian ketentuan Pasal 18B UUD 1945 mampu menolong keadaan hak-hak masyarakat adat yang semakin termarginalisasi dan dalam kerangka mempertahankan pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara”
DESA tua Kedang Ipil merupakan tempat tinggal komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil. Di abad lampau, komunitas masyarakat adat ini memiliki setidaknya 3 posisi penting : Pertama, tempat pelarian para brahmana ketika terjadi perang besar antara kerajaan Kutai Kartanegara dan kerajaan Kutai Martadipura di abad ke-14 Masehi. Kedua, pusat ilmu kanuragan yang sangat disegani karena tidak pernah berhasil ditundukkan oleh siapapun. Dan Ketiga, salah satu dari 3 poros penting kesultanan Kutai Kartanegara.
Hingga saat ini komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil masih mempertahankan tradisi, budaya, dan ritual lelulur mereka. Ketuaan tradisi terlihat dari mantra ritual yang tidak menggunakan bahasa manusia tetapi bahasa dari dewa mereka langsung. Ini menjadi kekayaan besar karena Unesco sudah menyatakan bahwa bahasa langit sudah punah karena penutur terakhir di suku pedalaman Meksiko sudah meninggal dan tidak ada penerusnya. Komunitas masyarakat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil menjadi entitas terakhir tradisi, religi, dan ritual masyarakat Kutai pra-islam.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil adalah dua tradisi tuanya, yakni Nutuk Beham (upacara prapanen padi) dan Muang (upacara kematian), disahkan negara sebagai Warisan Budaya Tak Benda tingkat Nasional melalui SK Kemendikbudristek RI No.414/O/2022 tanggal 21 Oktober 2022.
Selama berabad-abad, lokasi desa ini sangat terpencil karena berada di ujung hutan. Beratnya medan geografis menuju Desa Kedang Ipil membuatnya semakin sempurna terisolasi dari masyarakat luar. Pada tahun 1976, pemerintah bahkan memasukkan desa ini dalam kategori desa terasing (Direktorat Pembinaan Masyarakat Terasing, 1976). Akan tetapi, isolasi dan keterasingan itu justru membawa dampak positif bagi ekosistem budaya komunitas masyarakat adat ini. Selama berabad-abad, tradisi, budaya, bahkan religi leluhur komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil terjaga keasliannya.
Dalam konteks budaya Kalimantan Timur, komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil merupakan kantong budaya utama bagi pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara yang dimana mereka yang menjadi pelaksana semua ritual tahunan dalam perayaan Erau di istana Kutai Kartanegara.
Namun, keberadaan keberadaan komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil sebagai kantong budaya utama bagi pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara, kini terancam dengan aktivitas industri perkebunan sawit yang hendak masuk dan merampas tidak hanya warisan budaya leluhur, tapi juga lingkungan dan ruang hidup mereka. PT Puncak Panglima Perkasa saat ini tengah berupaya untuk melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah adat komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil. Namun komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil secara tegas menolak masuknya perkebunan kelapa sawit di wilayah adat mereka dengan mengirimkan surat penolakan kepada Bupati Kutai Kartanegara. Namun hingga saat ini tidak belum ada tanggapan, sementara aktivitas PT Puncak Panglima Perkasa terus berlangsung mulai dengan pemetaan Lokasi, hal ini menunjukan legitimasi pemerintah kepada korporasi untuk melakukan perampasan dan upaya-upaya melanggar hak komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil.
Oleh karena itu, kami dari Solidaritas Untuk Komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang Kedang Ipil, menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Menolak pemberian izin dan upaya masuknya perusahaan sawit PT Puncak Panglima Perkasa di wilayah adat yang secara nyata tidak hanya mengancam ruang hidup komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil, akan tetapi juga akan menjadi ancaman genosida kultural komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil.
2. Mendesak pemerintah bersikap tegas untuk tidak memberikan izin kepada perusahaan sawit PT Puncak Panglima Perkasa di wilayah adat komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil.
3. Mendesak pemerintah untuk segera mengakui dan melindungi secara penuh hak-hak komunitas masyarakat adat kutai adat lawas sumping layang kedang ipil sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi
List Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur:
Lembaga: 1. AMAN Kaltim, 2. KIKA Kaltim, 3. Walhi Kaltim, 4. Pokja30, 5. SAKSI FH Unmul, 6. Sambaliung Corner, 7. Nomaden Institute, 8. LBH Samarinda, 9. JATAM Kaltim 10. GMNI FKIP Unmul, 11. Naladwipa Institute, 12. HMPS FKIP Unmul, 13. HMI FKIP Unmul, 14. HMPKN FKIP Unmul
15. GMNI Samarinda, 16. Aksi Kamisan Kaltim, 17. Lembaga Adat Kutai Adat Lawas 18. TerAksara, 19. Himapsos Fisip Unmul.
Individu : 1. Herdiansyah Hamzah (FH Unmu), 2. Roedy Haryo Widjono AMZ (Budayawan), 3. Sri Murlianti (FISIP Unmul), 4. Hardo Manik (FBisnis UKDW Yogyakarta), 5. Kiftiawati (FIB Unmul), 6. Hairudin (Guru dan tokoh Agama), 7. Adiannur ( Guru dan Pemuda Adat ), 8. Sartin (Lembaga Adat Kutai Adat Lawas), 9. Aji Qamara Hakim (Fisip Unmul). (kaz)