Berita Terbaru

Gema Takbir Menggema di Malam 1 Syawal 1446 H, Tenggarong Berbalut Kemuliaan Daun Kratom Jantur: Rp2.500, Jutaan Dolar di Pasar Dunia Novi: Korban atau Pelaku? Dilema Perempuan dalam Jerat Kekerasan

Enam Bulan di Balik Jeruji: Novi dan Bayang-Bayang Penguntitan

DI BALIK JERUJI besi Lapas Kelas IIA Lubuklinggau, Novi (34) menyesali perbuatannya. Vonis 14 bulan penjara telah dijatuhkan, dan enam bulan telah dilaluinya. Air mata mungkin tak mampu menghapus luka yang ditimbulkannya pada Adnan, korban penyiraman air keras yang dilakukannya. Namun, di balik aksi nekat itu, tersimpan kisah pilu tentang pengejaran dan ketakutan yang telah membayangi Novi selama enam bulan. Kehadiran Adnan, yang terus menguntitnya, telah menghancurkan kedamaian hidupnya, hingga akhirnya ia mengambil tindakan ekstrem sebagai bentuk pertahanan diri yang salah. Kisah Novi menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan bagi perempuan dari ancaman kekerasan dan pentingnya mencari solusi yang tepat dalam menghadapi situasi tertekan, bukan dengan kekerasan.

Di Desa Tanah Mas, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Muratara, Sumsel, Novi, seorang ibu rumah tangga, mengingat awal mula teror yang dialaminya. Pada akhir tahun 2023, Adnan, tanpa sepengetahuannya, muncul dan membantu keluarganya membangun sebuah pondok. “Saya pergi bekerja dari pukul 6 pagi hingga 3 sore,” kenang Novi kepada pada Jumat (15/11/2024), “Jadi saya tidak tahu dia membantu karena saya tidak ada di rumah.” Kehadiran Adnan yang tak terduga ini menjadi awal dari mimpi buruk yang akan menghantuinya selama enam bulan ke depan. Kisah ini menyoroti betapa mudahnya seseorang menjadi korban, bahkan saat sedang menjalankan aktivitas sehari-hari.

Pondok itu berdiri megah, namun menjadi saksi bisu awal mula petaka. Novi, tak menyadari niat terselubung Adnan, tak membayar jasa bantuannya. Kesalahpahaman pun terjadi, uang pembayaran diberikan, namun teror tak kunjung berhenti. Adnan terus datang, mengganggu siang dan malam, bahkan nekat mengambil pakaian, pipa air, dan handuk dari rumah Novi. Ketakutan menghantui setiap langkahnya. Lampu rumah sengaja dimatikan, demi menghindari tatapan mata yang menakutkan. Ia bahkan mengadu kepada keluarga Adnan, sebuah upaya terakhir untuk menghentikan teror yang tak berkesudahan. Namun, upaya tersebut tak membuahkan hasil. Kisah ini menyiratkan betapa sebuah niat baik dapat disalahartikan, dan betapa sebuah kesalahpahaman kecil dapat berujung pada teror yang berkepanjangan.

Permohonan kepada keluarga Adnan, kepada kepala desa, semuanya sia-sia. Ketakutan yang terpendam selama berbulan-bulan, akhirnya meledak pada Kamis malam, 9 Mei 2024. Sebuah gayung berisi campuran air keras dan air biasa, tertuang di punggung Adnan. Luka bakar menghiasi tubuhnya, sebagai bukti nyata dari keputusasaan Novi. “Dia hendak membongkar pipa air di belakang rumah,” jelas Novi, “Saya langsung menyiramnya.” Tindakan nekat itu, membawa Novi ke balik jeruji besi. Vonis 14 bulan penjara menanti, dan enam bulan telah dilaluinya. Tawaran perdamaian muncul, tetapi tuntutan Rp 60 juta terlalu tinggi untuk janda beranak dua ini. Penjara menjadi pilihannya, sebuah pilihan yang pahit, namun mungkin satu-satunya jalan yang tersisa. Kisah Novi, bukan sekadar catatan hukum, melainkan refleksi tentang kegagalan sistem perlindungan perempuan, dan tentang betapa rapuhnya batas antara korban dan pelaku. (kaz)

sumber: detik